Berdasarkan pergerakan ibunda ‘Aisyiyah, Sukendar, Ph.D dalam Seminar Pra-Muktamar di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Kamis (14/4) mengatakan “‘Aisyiyah dalam perjuangannya membawa prinsip Islam yang sama sekali berbeda dengan nilai-nilai yang dibawa oleh kelompok feminis dan sekuler,” ungkapnya.
Beliau berujar bahwa seluruh gerakan perempuan di barat adalah soal justice dan equality bahwa mereka adalah makhluk yang sama dan bukan second sex atau warga kelas dua, tapi makhluk yang setara dengan laki-laki.
Immawati yang benar – benar “masih hidup” justru merasa tidak nyaman membahas feminisme secara berlebihan. Penulis berpendapat bahwa ideologi barat tentang perempuan, jika tidak disikapi dengan bijak, dapat menjadi boomerang yang justru menyusutkan perkembangan Immawati sendiri. Perbedaan pandangan antara ajaran Islam dengan nilai yang dianut oleh feminisme menjadi dasar bahwa tidak sepantasnya perempuan muslim gila – gilaan dalam meneguk faham feminisme.
Beberapa ideologi dan gerakan perempuan di barat yang jelas keluar jalur dari ajaran Islam seperti childfree, menentang pernikahan, sekularisme, serta gerakan ekstrim kesetaraan gender, apabila diadopsi tanpa tapi, sama saja seperti menyuntikkan bibit – bibit kematian pada rahim Immawati. Beberapa hal yang perlu dikritisi dari Immawati yang kembung ekstremis feminisme :
• Penolakan Peran Gender yang Ditentukan Secara Biologi
Ekstremisme dalam kesetaraan gender sering kali menolak peran gender yang ditentukan berdasarkan perbedaan biologis. Misalnya, mengabaikan sunnatullah bahwa perempuan memiliki peran istimewa dalam hal kehamilan dan menyusui, dan menuntut bahwa peran ini harus sepenuhnya setara dan dapat dipertukarkan dengan laki-laki. Mirisnya faham seperti ini tidak pernah dikritisi oleh para Immawati. Justru mendukung secara tidak langsung dengan melanggengkan krisis ilmu parenting dan laktasi di kalangan Immawati.
• Penghapusan Institusi Pernikahan
Beberapa pandangan ekstrem menganggap bahwa pernikahan sebagai institusi yang menindas dan menuntut penghapusannya sepenuhnya. Bahkan tak jarang oknum mengatasnamakan “Immawati” untuk melihat pernikahan sebagai alat patriarki yang membatasi kebebasan perempuan. Padahal dalam Islam, pernikahan adalah sunnah, bagian penting dari kehidupan yang memberikan ketenangan dan keseimbangan. Menjadi keraguan mutlak, apakah ada gerakan Immawati yang sudah tuntas mengupas fikih pernikahan dan membuka komunikasi mengenai kesiapan menuju dakwah berkelanjutan melalui pernikahan?
• Pengabaian Tanggung Jawab Keluarga
Faham ini mendorong perempuan untuk sepenuhnya mengabaikan tanggung jawab keluarga demi mengejar karier atau kebebasan pribadi. Hal ini bisa berarti menolak tanggung jawab domestik atau peran sebagai ibu, yang dalam Islam dipandang sebagai peran yang sangat mulia dan penting. Apakah Immawati menyadari bahwa ia adalah makhluk kuat pilihan Allah yang dipercayai untuk mengemban amanah – amanah besar? Berapa banyak Immawati yang belajar memahami dunia rumah tangga para sahabiyah atau sesepele memiliki skill meracik bumbu masakan untuk membahagiakan keluarganya kelak?.
Jika organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ternodai dengan paham brutal seperti ekstrimis feminisme, maka terbentuklah mental kerdil para Immawati. Mereka menganggap bahwa tanggung jawab untuk mengembangkan soft skill dan keilmuan mengenai tanggung jawab kehidupan selanjutnya hanya difokuskan untuk lelaki semata. Sedangkan tanpa sadar yang dianggap bebas justru mengurung mindset dan berujung pada bunuh diri terhadap peningkatan diri.
Padahal Islam mendorong setiap individu, termasuk perempuan, untuk terus berkembang dan meningkatkan kemampuan diri. Fokus pada pengembangan soft skill seperti komunikasi, kepemimpinan, dan empati adalah bagian penting dari kehidupan seorang muslimah. Terlibat secara berlebihan dalam gerakan anti-patriarki dapat mengalihkan perhatian dari pengembangan diri ini, yang pada akhirnya dapat merugikan perempuan itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, baik pribadi maupun profesional.
Hidup Immawati! Hidup Cendekiawati!.
Penulis: Zahra Zayyina Hanifah (Mahasiswi Prodi Studi Agama-agama Universitas Muhammadiyah Surabaya)
Editor: Septi Sartika