Opini

Mengembalikan Makna Inklusivisme Islam

3 Mins read

­Catatan materi DAM Oleh kakanda Abu Darda

Setelah selesai melakukan shalat ashar, para peserta Darul Aqram Madya (DAM) PC IMM Kabupaten Sinjai menunggu sejenak sambil mempersiapkan diri untuk menerima materi. Seperti biasa instruktur selalu meng-croscheck pemahaman peserta setelah menerima materi-materi sebelumnya. Ditengah keasyikan mengulang-ulang materi, narasumber sudah memasuki pintu dengan diantar oleh instruktur yang lain, sambil ngobrol tanya kabar dan kesibukan.

Narasumber kali ini memang agak berbeda, namun awalnya dengan melihat penampilan yang ia pakai, para peserta DAM agak sedikit sinis disertai rasa bosan, karena tidak ada sesuatu yang menarik dari pemateri tersebut.

Tetapi, perasaan sinis dan rasa bosan tadi seketika berubah dan hilang tanpa jejak, tanpa kabar. Seisi forum terlihat antusias setelah melihat gaya dan cara membawakan materi. Memang idealnya, materi atau konsep akan terlihat lebih indah, mewah, menarik, mudah dipahami dan apapun itu, apabila metode atau cara yang digunakan dalam menyampaikan bagus pula. Begitu pula sebaliknya, sebaik, sebagus dan seindah apapun materi yang dibuat, tetapi cara dan metode yang di gunakan tidak bagus, maka materinya akan terkesan bosan dan akan sulit untuk dipahami.

Materi yang dibawakan oleh kakanda Abu Darda adalah Inklusivisme Pemikiran Islam. Salah satu materi yang tidak asing bagi para peserta DAM, tetapi belum memliki pemahaman yang baik terhadapnya. Dulu penulis pernah membaca sejarah mengenai Jaringan Islam Liberal, yang lebih dikenal dengan singkatan JIL. Yang salah satu tokoh besarnya adalah Ulil-Abshar-Abdalla.

Menurut Gus Ulil ini, sapaan akrab beliau. “Semua Agama sama”, mendengar ucapan beliau penulis yang awalnya telah mengenal filsafat merasa bahwa ucapan beliau ini justru memancing para peserta DAM untuk berpikir kembali (rethinking) terkait pemahaman soal agama.

Tetapi terlepas dari itu, dari statemen ini menimbulkan semacam kekacauan nasional, sehingga menimbulkan banyak keributan dari akademisi, beberapa tokoh agama, ulama dan masyarakat. Dari statement ini, penulis mencoba untuk mengajukannya kembali kepada Narasumber yaitu Kakanda Abu Darda. Beliau menjawab bahwa pernyataan itu tidak memiliki konsekuensi.

Sebab, jika semua agama sama maka tidak ada kebenaran yang tunggal. Ibaratnya seperti rumah yang kita huni, kita boleh saja memasuki rumah tetangga atau rumah teman, tetapi tidak mungkin rumah tetangga dijadikan sebagai rumah pribadi. Oleh karena itu, layaknya rumah sendiri, maka itulah kebenaran.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an telah dijelaskan pada Surah Ali Imran ayat 19 yang berbunyi;

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

yang artinya;

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Selanjutnya baca pula pada ayat ke 61 yang menyuruh Nabi untuk bermubahalah (doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memohon jatuhnya laknat Allah SWT. atas siapa yang berbohong) kepada utusan Nasrani Najran, tetapi mereka tidak berani. Sehingga, hal ini menjadi bukti kebenaran tentang akidah Islam.

Menurut narasumber, inklusivisme dalam Islam bukan pada ranah teologi, bahkan Islam sangat ekslusif (tertutup) pada ranah teologi dan tauhid, atau tidak ada tawar-menawar soal agama. Yang ada hanyalah toleransi, dimana satu agama (Islam) dan agama lainnya saling menghormati bukan membenarkan apa yang diyakini oleh agama lain.

Inklusivisme bisa dilihat dalam dua sisi yang berbeda. Ada kalangan yang menilai positif karena dengan demikian Islam di Indonesia bisa lebih akomodatif, tolerans, moderat, menerima perbedaan, lebih fleksibel dengan budaya lokal, dan lebih compatible dengan negara bangsa (nation state). Kalangan lainnya melihat sebaliknya. Sikap inklusivisme bisa di­maknai sebagai sikap yang tidak disiplin terhadap identitas dan simbol-simbol syariah, tidak maksimum di dalam memperjuangkan hukum-hukum Syari’ah, dan terlalu tolerans terhadap hal-hal yang bersifat syubhat, dan tidak bersikap tegas terhadap praktik syinkretisme di dalam masyarakat. Bahkan ada yang menuding sikap inklusivisme istilah lain dari abangan dan atau sekularisme.

Terlepas dari kedua persepsi di atas, sikap inklusivisme tentu saja mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, sikap inklusivisme ini juga sangat relatif. Seseorang yang berpandangan moderat (wasathiyah) tidak bisa diidentikkan dengan abangan dalam arti beragama secara awam, belum matang, dan tidak substantif.

Nah yang dimaksud inklusivisme dalam islam yaitu adanya keterbukaan pada sosial kemasyarakatan, tolong-menolong, jual-beli, hutang-piutang, bertetangga kepada hindu serta yang lainnya dan semua yang diluar dari ranah teologi. Hal ini tercermin ketika Nabi berhasil menguasai Kota Yastrib atau Madinah setelah berhijrah dari kota Mekkah. Di mana pada waktu itu, Madinah dikuasai oleh tiga suku besar, yakni suku Yahudi, suku Khazraj dan suku ‘Aus. Dua suku terakhir ini berhasil diyakinkan oleh Nabi untuk masuk agama Islam, sedangkan Yahudi tetap pada keyakinannya.

Heterogenitas yang ada di Madinah tersebut tidak menjadikan Nabi mengancam, intoleransi, mengintimidasi dan mengusirnya. Tetapi jauh daripada itu, Nabi memberikan jaminan kepadanya berupa kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, keamanan dan kesetaraan. Yang menjadi permasalahan ialah, bahwa istilah inklusifitas tidak berasal dalam Islam, melainkan berawal dari barat. sehingga makna yang diadopsi berasal dari barat juga.

Di mana istilah ini ditiupkan oleh Alan Race yang mengatakan bahwa, agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, tetapi pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Senafas dengan pendapat diatas Karl Rahner membagi menjadi dua bagian, pertama in spite of yaitu; meskipun agama-agama lain memberi hambatan untuk keselamatan, namun tidak menolak bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang yang beragama selainnya dapat diselamatkan oleh anugerah atau rahmat dari Allah dan by means of adalah sikap lebih positif terhadap agama lain. Model ini melihat bahwa Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut.

 

Penulis: Muh Hariandika (Mahasiswa Unismuh Makassar Prodi Bimbingan Konseling Islam)

Editor: Septi Sartika

Related posts
ArtikelOpini

Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi: Mewujudkan Pendidikan Berkualitas untuk Masa Depan Gemilang

1 Mins read
PATRIOTPENCERAH – Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi (IBMB) berkomitmen untuk menjadi pusat pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan berkualitas dengan kemampuan adaptasi tinggi di…
ArtikelOpini

Krisis Sumber Daya Manusia pada Sektor Pertanian

3 Mins read
Ancaman krisis pangan global sangat signifikan, adanya perubahan iklim makin hari makin memburuk, melihat problematika dibeberapa dekade belakangan ini, petani mengalami penurunan…
Opini

Peran Umat Beragama dalam Mewujudkan Toleransi Antaragama di Indonesia

3 Mins read
Indonesia, sebagai negara yang memiliki keragaman agama dan budaya, membutuhkan toleransi antarumat beragama sebagai pondasi utama menjaga persatuan dan kesatuan. Toleransi ini…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *