Menurut Imam Abu Zahrah, ilmu ushul fikih adalah sebuah metodologi yang digunakan para mujtahidîn dalam menggali hukum syar’i dari nash Alqur’an ataupun al-Hadis dengan mengidentifikasikan illat suatu hukum sesuai tujuan dasar diturunkannya syari’ah.
Dengan demikian, ilmu ushul fikih merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika penggalian hukum dari berbagai dalil syar’i. Ilmu ushul fikih mencakup kajian teks bahasa secara langsung, seperti sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik, menggabungkan dua nash jika terjadi benturan secara zhahir, atau berupa kajian yang bersifat ma’nawiyyah yang tidak berhubungan secara langsung teks bahasa, seperti mengeluarkan illat dari nash dan cara menggunakan metode terbaik dalam menggali hukum syar’i ketika berinteraksi dengan illat tersebut.
Sedangkan menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang menerangkan mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-adillah al-ijmâlîyyah) yang dapat membantu para mujtahid dalam menggali hukum fikih.
Munculnya ilmu ushul fikih sebenarnya bersamaan dengan fikih, karena bagaimanapun juga dalam penggalian hukum syar’i para ulama mujtahidîn tidak akan lepas dari metodologi ushul fikih. Hanya saja, pembukuan fikih lebih awal dari pada ushul fikih.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para sahabat dalam memberikan ketentuan hukum fikih sebenarnya telah memiliki rumusan tertentu.
Antara satu sahabat dengan sahabat lain terkadang memiliki rumusan yang berbeda sehingga berimplikasi pada ketetapan fatwa yang berbeda pula. Ilmu ushul fikih baru menjadi rumusan yang terbukukan secara sistematis oleh imam Syafi’i dalam bukunya, al risâlah. Buku inilah yang kemudian menjadi inspirasi ulama lain untuk mengikuti jejak beliau dalam memberikan rumusan dasar dalam berijtihad.
Umumnya, para ulama membagi metodologi penulisan ilmu ushul fikih menjadi tiga:
1. Al Mutakallimûn, yaitu penulisan ilmu ushul fikih berdasarkan pada analisa dan rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat persoalan furû’iyyah, baik yang sudah menjadi kesepakatan bersama atau belum. Ushul fikih mutakallimûn merupakan metodologi murni yang berasal dari kajian induktif terhadap nash sayr’i. Hukum fikih hanya dijadikan sebagai contoh praktis.
Kesan dari penulisan model ini adalah bahasan yang bersifat teoritis-filosofis. Ilmu ushul fikih dijadikan sebagai standar dan sandaran terhadap ketentuan hukum fikih yang keluar dari sekat-sekat mazhab.
Metode penulisan seperti ini dapat terhindar dari fanatisme mazhab tertentu. Di antara yang menggunakan model penulisan seperti ini adalah Muktazilah, Syafi’iyah dan Malikiyah.
2. Al Hanafiyyah, yaitu suatu metode penulisan yang dilakukan oleh pengikut imam Hanafi dengan menganalisa hasil dari ijtihad sang imam, kemudian merumuskan metodologi yang digunakan oleh imam berdasarkan dari hasil analisis tersebut.
Model rumusan metodologi ini bersifat praktis dan lebih memihak mazhab tertentu. Kelebihannya adalah bahwa rumusan tersebut lebih banyak bersentuhan dengan hukum fikih dari pada perdebatan teoritis-filosofis.
3. Metode akomodatif, yaitu penggabungan dari dua metode penulisan di atas. Mereka tidak terlalu berdebat dalam tataran teoritis- filosofis, namun juga tidak terlalu terpaku dengan persoalan furû’iyyah.
Mereka meletakkan rumusan kaidah ushul yang ditopang dengan argumentasi logis, sebagai standar dan penentu dalam ketetapan hukum syariat. Salin itu, mereka juga menambahkan contoh-contoh praktis yang diambil dari para imam. Model penulisan seperti ini banyak diikuti oleh para ulama muta’akhirîn, baik dari mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, Ja’fari bahkan mazhab Hanafi.
Dalam ushul fikih, yang dikaji adalah terkait rumusan metodologi. Semakin baik dan kuat sebuah rumusan metodologi, maka semakin bagus untuk dijadikan sebagai metodologi ijtihad. Oleh karena itu, kita melihat bahwa perkembangan ushul fikih berbeda dengan perkembangan fikih.
Di fikih, nuansa mazhab sangat kental. Para ulama mazhab sering menisbatkan fatawanya dengan bersandar pada pendapat para imam mazhab. Jika ulama tersebut bermazhab Syafi’i, maka fatawa fikihnya akan diambil dari para ulama Syafiiyah. Demikian juga jika ia adalah mazhab Hambali, maka fatawa yang diambil merupakan pendapat dari para ulama mazhab Hambali.
Ushul fikih punya keunikan tersendiri. Sebagai sebuah metodologi, seringkali melampaui sekat-sekat mazhab. Bisa jadi antar mazhab ada bahasan sama dengan nama yang berbeda, atau mazhab tertentu meletakkan pondasi pemikiran lalu dikembangkan oleh mazhab lain.
Untuk contoh pertama kita bisa melihat pada istilah manthuq dan mafhum di mazhab Syafii. Jika kita kaji, berbagai istilah yang ada dalam tema manthuq dan mafhum, ternyata juga mirip dengan teori ushul fikih mazhab Hanafi dengan istilah dilalah. Beda nama, namun sama dari sisi makna.
Untuk contoh kedua, kita bisa melihat dari ilmu maqashid. Ulama pertama yang menyinggung istilah maqashid syariah adalah imam Haramain, lalu Imam Ghazali dan dilanjutkan oleh Ibnu Abdussalam. Tiga ulama itu adalah para ulama besar di mazhab Syafii.
Meski demikian, yang mengembangkan dan menyempurnakan bangunan ilmu maqashid justru ulama dari mazhab Maliki. Beliau adalah Imam Syathibi. Beliau menulis kitab yang sangat ternama, yaitu Al Muwafaqat. Buku ini dianggap sebagai buku pertama yang mengkaji ilmu maqashid secara lengkap dan komperhensif.
Bagaimana dengan ushul fikih kontemporer? Umumnya ushul fikih kontemporer ini lintas mazhab. Ia menggabungkan berbagai teori yang terdapat dalam mazhab ushul fikih. Ia menjadi satu metodologi ijtihad yang sifatnya independen. Lihat saja misalnya, ushul fikih karya Imam Abu Zahra, ushul fikih karya Abdul Wahab Khilaf, Al Wajiz fi Ushul Fiqh karya Abdul karim Zaidan, berbagai kitab ushul fikih karya Syekh Ali Jumah dan lain sebagainya. Berbagai kitab ushul tersebut merupakan murni rumusan metodologi yang lepas dari sekat-sekat mazhab.
Ini juga terlihat dari ilmu maqashid. Lihat saja misalnya ilmu maqashid karya Imam Ibnu Asyur, Ilmu maqashid karya Yusuf Alim, Dirasah fi fiqhi maqashid asyariah karya Qaradawi, buku-buku maqashid syariah Jasir Audah dan Arraisuni, dan lain sebagainya. Buku-buku tersebut juga lepas dari sekat-sekat mazhab. Ilmu maqashid dipakai oleh para ulama tanpa melihat latar belakang mazhab.
Sederhananya, dalam ushul fikih kontemporer, mengakui berbagai teori dalam mazhab ushul, kemudian diakomodir menjadi sebuah metodologi ijtihad modern. Ini bukan bearti para ulama anti dengan mazhab, namun karena kebutuhan kontemporer menuntut untuk melakukan pembaharuan dalam berbagai pemikiran Islam warisan ulama terdahulu, termasuk juga dalam ushul fikih.
Dalam tahap belajar, kajian ushul fikih antar mazhab sangat penting. Namun untuk pengembangan dalam realitas kontemporer, sekat-sekat mazhab tadi menjadi kurang relevan. Pernyataan ini sekaligus menepis pernyataan yang selalu mengharuskan kita untuk terikat pada madzhab tertentu dan mengusung jargon “save mazhab”.
Wallahu a’lam