Menurut Qaradhawi, ijtihad dibagi menjadi dua macam, pertama tarjihi dan kedua insya’i. ijtihad tarjihi adalah sebuah ijtihad terhadap suatu persoalan yang sudah dikaji oleh para ulama terdahulu. Tugas para mujtahid saat ini adalah melakukan tarjih dengan melihat pendapat terkuat.
Ijtihad insya’i adalah ijtihad terhadap persoalan baru yang belum pernah dikaji oleh ulama terdahulu. Di sini, para mujtahid berusaha mencarkan ketetapan hukum, atau mencari solusi alternative atas persoalan yang sedang dihadapi umat Islam saat ini.
Baik ijtihad tarjihi maupun insya’i sangat dibutuhkan masyarakat. Saat ini, dua model ijtihad ini umum dilakukan oleh para ulama kontemporer. Ijtihad mazhab, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan terikat pada mazhab tertentu, saat ini mulai banyak ditinggalkan. Para ulama kontemprer dan juga lembaga-lembaga fatawa di seluruh dunia, umumnya melakukan ijtihad tarjihi, atau insya’i.
ijtihad tarjihi dan insya’i sudah menjadi fenomena global. Berbagai lembaga fatawa di banyak negara, dan juga fatawa para ulama kontemporer sudah jarang yang terikat oleh satu mazhab tertentu. Bahkan ada kecenderungan untuk melakukan “ijtihad jama’iy” secara internasional, seperti yang sering dilakukan oleh Lembaga Ulama Internasional (Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islamiy) yang berada di bawah OKI.
Contoh yang baru saja berakhir adalah ijtihad jamai untuk penyatuan kalender Hijriyah. Sekitar 200 ulama dunia berkumpul di Turki untuk melakukan ijtihad tarjihi terkait penyatuan kalender. Dikatakan tarjihi, karena persoalan penanggalan ini sudah banyak dikaji ulama terdahulu. Hanya sarana dan data yang diajukan para ulama sewaktu berkumpul di Istanbul terjadi pembaharuan. Para ulama tersebut melepas sekat-sekat mazhab dan melihat pada maslahat umat.
Pun demikian, lembaga fatawa dan para ulama kontemporer dituntut untuk selalu melakukan ijtihad baru mengingat banyak sekali persoalan umat yang belum pernah ada di masa lalu. Ijtihad insya’i sifatnya bukan sekadar memberikan fatawa halal haram, namun juga memberikan solusi alternatif atas persoalan umat.
Di Muhammadiyah, dua macam itihad ini sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, tepatnya sejak berdirinya Majlis Tarjih 1927 atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke- XVI. Terkait ijtihad tarjihi, Muhammadiyah mengakui seluruh mazhab Islam, namun tidak terikat dengan satu mazhab tertentu. Dalam suatu persoalan yang sudah dibahas oleh ulama terdahulu, Muhammadiyah melakukan ijtihad tarjihi dengan melihat pada kekuatan dalil. Hal ini persisi seperti pernyataan Imam Haramain dalam kitab al-Burhan menyatakan bahwa tarjih ini memang harus berlandasan pada kekuatan dalil.
Di sini, Muhammadiyah telah banyak menelurkan hasil ijtihad tarjihi, seperti Himpunan Putusan Tarjih atau fatawa tarjih yang hingga saat ini telah mencapai 7 jilid. Persoalan-persoalan yang termuat di sana, umumnya merupakan persoalan tarjihi.
Muhammadiyah tidak hanya melakukan system tarjih, namun juga berijtihad atas persoalan baru yang belum pernah ada di masa lalu, khususnya terkait dengan persoalan muammalah. Di antara contoh ijtihad insya’i Muhammadiyah antara lain adalah Fikih Anti korupsi, Fikih Air, Fikih Bencana, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, dan yang paling berani adalah Jihad Konstitusi Muhammadiyah.
Ijtihad muammalah Muhammadiyah tidak hanya sampai pada tataran ide dan gagasan, namun juga dibumikan dalam realitas sosial. Tengoklah misalnya sekolah, pesantren dan universitas Muhammadiyah sebagai bagian dari ijtihad ilmu, rumah sakit, panti asuhan sebagai ijtihad sosial, pembinaan terhadap kaum dhuafa, pendampingan kepada para petani dan nelayan, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang selalu tanggap terhadap bencana alam, bukan saja di Indonesia, namun juga di negara lain.
Bahkan pada bulan semtember 2018, Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah, Rahmawati Husein, terpilih menjadi anggota Central Emergency Response Fund (CERF) advisory PBB yang bermarkas di New York. Belum lagi jika kita melihat perekonomian yang digerakkan Muhammadiyah seperti banyaknya SuryaMu sebagai minimarket Muhammadiyah, pon bensin, toko-toko, Hotel dan lain sebagainya.
Muhammadiyah juga punya banyak radio, majalah dan buletin, juga punya TVMU. Tajdid Muhammadiyah bahkan mulai merambah ke negara lain, di antaranya dengan pendirian Universitas Muhammadiyah di Malaysia dan pembelian 10 hektar tanah di Australia guna pembangunan sekolah Muhammadiyah.
Tidak heran jika ijtihad Muhammadiyah banyak di tiru negara lain, ada yang mengatasnamakan gerakan Muhammadiyah seperti Muhammadiyah Singapura atau nama lain namun dengan prinsip dasar mirip Muhammadiyah.
Jadi salah jika ijtihad Muhammadiyah hanya dilihat dari sisi ibadah saja. Keliru besar jika melihat ijtihad hanya dari sisi bermazhab atau tidak. Banyak persoalan umat yang butuh penyelesaian dan harus dilakukan ijtihad. Fikih muammalah sangat luas dan butuh pembumian, bukan sekadar wacana dalam kitab saja. Dan ini menjadi ladang luas yang dikerjakan oleh Muhammadiyah.
Dalam hal ijtihad ini, Muhammadiyah memang luar biasa. Muhammadiyah dengan semangat Islam berkemajuan tidak ketinggalan dengan para ulama internasional dalam menelurkan ijtihad dan sistem ijtihad. Yang dibutuhkan sekarang adalah sosialisasi hasil itihad Muhamamdiyah serta menguatkan Majelis Tarjih agar Ijtihad Muhamadiyah ke depan lebih progresif. Wallahu a’lam