PATRIOTPENCERAH – Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional, saat semangat mencerdaskan kehidupan bangsa kembali digaungkan, kita justru dihadapkan pada realita getir: nasib guru, terutama guru honorer, masih jauh dari kata sejahtera dan aman. Sebagai organisasi profesi yang telah berdiri sejak masa kemerdekaan, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan hak-hak guru. Namun faktanya, banyak guru masih hidup dalam ketidakpastian, bergaji rendah, dan nyaris tanpa perlindungan hukum.
PGRI dinilai belum menunjukkan aksi nyata yang sepadan dengan tantangan zaman dan problematika guru di lapangan. Di tengah derasnya perubahan kurikulum dan kebijakan rekrutmen PPPK, PGRI justru terlihat kompromistis dan cenderung pasif. Guru terus didorong untuk bertransformasi dan berinovasi, sementara hak-hak dasarnya terabaikan.
Lebih memprihatinkan lagi, dalam berbagai kasus kriminalisasi terhadap guru, PGRI seringkali absen memberi pendampingan hukum yang kuat. Sikap ini menimbulkan kekecewaan dan mempertanyakan fungsi serta keberpihakan organisasi tersebut terhadap anggotanya.
“Jika PGRI ingin kembali dipercaya sebagai rumah perjuangan guru, maka saatnya keluar dari zona nyaman. Ia harus menjadi kekuatan yang vokal, tegas, dan progresif dalam memperjuangkan martabat dan kesejahteraan guru di Indonesia,” ujar Farhain.
Farhain menegaskan, perubahan tidak bisa ditunda. PGRI harus melakukan reformasi internal yang menyeluruh, memperkuat keberpihakan terhadap guru di semua lini, dan membangun gerakan yang substansial, bukan sekadar seremonial. Momentum Hari Pendidikan Nasional harus dimaknai sebagai ajakan untuk bergerak, bersikap, dan berpihak—demi keadilan dan masa depan pendidikan Indonesia yang lebih bermartabat.***