Pesantren berperan dalam penguatan pilar peradaban serta pemberdayaan perempuan melalui pendidikan agama dan pengabdian sosial. Namun, pada realitanya penulis merasakan secara nyata adanya ketimpangan dalam kurikulum di beberapa pesantren yang berfokus pada doktrin peribahasa “Al Ummu Madrasatul Ula”, sehingga santri hanya dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu, namun tak pernah dididik menjadi calon istri solihah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pendidikan pesantren cukup untuk mempersiapkan perempuan menghadapi kehidupan pernikahan yang kompleks?
Fokus Pengabdian Pesantren
Dilansir dari ppduputri.or.id, pesantren menekankan pentingnya khidmah atau pengabdian. Santri perempuan sering terlibat dalam berbagai aktivitas seperti mengajar, mengasuh, dan tugas-tugas harian lainnya supaya menjadi individu yang mandiri dan siap mengasuh anak-anak. Jelas dengan sistim semacam itu, santri perempuan lebih siap secara emosional dan praktis untuk peran sebagai ibu daripada sebagai pasangan dalam hubungan pernikahan yang setara.
Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Mengutip dari mubadalah.id, bahwa ketimpangan semacam ini diperparah oleh minimnya nilai-nilai kesetaraan gender dalam sumber ajar di pesantren. Penelitian menunjukkan bahwa peran perempuan sering digambarkan dalam konteks domestik, sementara laki-laki dalam konteks profesional. Hal ini memperkuat stereotip gender yang membatasi perempuan pada peran tradisional, membuat mereka kurang siap untuk menghadapi peran ganda sebagai ibu dan istri.
Dampak Sosial dan Psikologis
Santri perempuan yang telah melalui program pengabdian seringkali merasa siap untuk mengasuh anak, tetapi kurang siap untuk menjadi istri yang setara dalam pernikahan.Output dari tekanan sosial dari pihak pesantren dan ekspektasi tradisional ialah terjadinya ketegangan dan konflik dalam rumah tangga. Pendidikan yang berfokus pada peran domestik perempuan juga dapat menghambat perkembangan keterampilan interpersonal dan manajemen konflik yang penting dalam pernikahan.
Kelemahan Pengabdian Pesantren bagi Perempuan
• Kurangnya Pendidikan Keterampilan Interpersonal
Kurikulum pesantren sering kali tidak cukup menekankan keterampilan interpersonal yang penting dalam kehidupan pernikahan. Santri putri dididik untuk menjadi ibu yang baik, tetapi kurang dibekali keterampilan komunikasi dan manajemen konflik yang diperlukan dalam hubungan suami-istri.
• Stereotip Gender yang Kuat
Pesantren tradisional cenderung memperkuat stereotip gender yang membatasi peran perempuan dalam rumah tangga, menekankan peran keibuan yang ideal sementara peran sebagai istri yang setara kurang ditekankan.
• Minimnya Pendidikan Keterampilan Hidup
Pesantren sering kali mengabaikan pendidikan keterampilan hidup seperti manajemen keuangan, pemahaman hukum pernikahan, dan hak-hak dalam pernikahan. Tanpa pengetahuan ini, perempuan mungkin kesulitan mengelola keuangan keluarga dan memahami hak serta kewajiban mereka.
• Kurangnya Dukungan Konseling Pra-Nikah
Banyak pesantren tidak menyediakan program konseling pra-nikah yang komprehensif untuk membantu calon pasangan memahami dinamika hubungan suami-istri dan mengembangkan strategi manajemen konflik.
Penelitian Terkait Ketimpangan Kurikulum Pesantren
Penulis mengutip studi oleh Nurul Hidayah (2019) yang menemukan bahwa santri perempuan sering kali memahami peran keibuan dengan baik tetapi merasa kuran siap dalam mengelola hubungan suami-istri yang harmonis dan setara.
Sedangkan, dalam penelitian lain oleh Zubaidah (2020) menunjukkan bahwa perempuan lulusan pesantren yang mendapatkan pendidikan tambahan mengenai keterampilan hidup dan manajemen rumah tangga menunjukkan kesiapan yang lebih baik untuk menjalani peran sebagai istri dan ibu.
Maka, perlu adanya pelatihan praktis, konseling pra-nikah, juga memasukkan muatan ilmu manajemen konflik dan komunikasi secara holistik dalam pendidikan pesantren. Dengan mengintegrasikan pendidikan keterampilan hidup dan nilai-nilai kesetaraan gender, pesantren dapat lebih efektif mempersiapkan perempuan untuk peran ganda sebagai ibu dan istri.
Pesantren yang berhasil mengimplementasikan kurikulum yang lebih seimbang akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya siap mengasuh, tetapi juga mampu menjalani pernikahan yang harmonis dan setara. (*)
Penulis Zahra Zayyina Hanifah (Mahasiswi Prodi Studi Agama-agama Universitas Muhammadiyah Surabaya)
Editor Septi Sartika