“Muhammadiyah tanpa amal usaha, boleh jadi sekadar organisasi wacana belaka” begitulah tulis Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) memang berperan penting memainkan signifikansi pendidikan, kesehatan, dan sektor sosial di Indonesia. Namun, dalam dinamika kepemimpinan dan pengelolaan amal usaha ini, sering kali muncul fenomena yang meresahkan, terutama terkait dengan sikap pengurus saat krisis melanda.
Fenomena “Angkat Tangan” Saat Krisis
Saat AUM berada dalam masa-masa krisis, baik itu krisis material, manajerial, atau lainnya, tidak asing muncul fenomena “angkat tangan” oleh sebagian pengurus. Mereka memilih sembunyi bahkan mendadak lupa Surat Keputusan (SK) ketika terdapat problematika. Entah ketidakmampuan menghadapi tantangan, keinginan menghindari tanggung jawab, salah niat numpang nama, bahkan karena “tidak ada keuntungan pribadi” menjadi alasan terjadinya demikian. Padahal, dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga amanah yang diberikan kepada mereka.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).
Sikap angkat tangan menunjukkan lemahnya tanggung jawab, juga bertentangan dengan prinsip amanah yang ditekankan dalam Islam. Akibatnya, krisis yang seharusnya bisa diatasi dengan upaya bersama justru semakin lemah dan merusak fondasi amal usaha tersebut.
Berbondong-bondong Mencari Muka setelah Stabil
Sungguh ironi ketika krisis mulai mereda dan amal usaha kembali tertata dengan setengah mati perjuangan tanpa dukungan, para pengurus yang sebelumnya angkat tangan justru muncul kembali. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian berusaha menampilkan diri sebagai penyelamat, mencari muka, dan bahkan mencoba meraih keuntungan pribadi dari situasi yang sudah mulai stabil. Mereka yang dulunya tidak terlibat dalam proses pemulihan justru sering kali menjadi yang paling vokal dalam memproklamirkan keberhasilan amal usaha tersebut, seakan-akan merekalah yang berjasa atas kesuksesan itu. Rasulullah SAW mengingatkan kita akan bahaya mencari jabatan atau keuntungan pribadi:
“Barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin dalam urusan kaum Muslimin, lalu dia menahan dirinya (dari melayani mereka) tanpa memenuhi kebutuhan, kemiskinan, dan kekurangan mereka, maka Allah akan menahan diri-Nya dari memenuhi kebutuhan, kemiskinan, dan kekurangannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Melengserkan dengan Tidak Terhormat
Estafet kepemimpinan AUM yang sudah tercemar mengoyakkan adab kaum pahlawan kesiangan. Tidak heran, banyak cerita soal pengurus yang sebenarnya telah bekerja keras dan berjuang melewati masa-masa krisis justru dilengserkan dengan cara yang tidak terhormat. Mereka yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menstabilkan amal usaha malah dipinggirkan oleh kelompok-kelompok yang hanya muncul saat keadaan sudah kembali baik. Dalam proses ini, cara-cara yang tidak etis, seperti fitnah, intrik politik, dan perebutan kekuasaan secara licik, sering kali digunakan untuk melengserkan mereka yang seharusnya dihargai atas kontribusinya. Islam sangat mengutuk tindakan seperti ini, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak akan masuk surga orang yang menebar fitnah (adu domba).” (HR. Muslim).
Dampak Negatif Bagi Organisasi
Pertama, hilangnya warga yang benar-benar menghidupi Muhammadiyah, berdedikasi dan berkompeten karena dilengserkan secara tidak terhormat. Jelas jika kader-kader merekam konsep yang berjalan, maka akan melemahkan kapasitas kepemimpinan di masa depan. Kedua, budaya mencari muka dan perebutan kekuasaan menciptakan lingkungan organisasi yang tidak sehat, di mana kepentingan pribadi atau kelompok tertentu lebih diutamakan daripada kepentingan bersama. Ketiga, kredibilitas organisasi di mata masyarakat bisa terancam, karena publik dapat melihat adanya inkonsistensi dan ketidakadilan dalam kepemimpinan.
Membangun Kembali Integritas Kepemimpinan
Muhammadiyah perlu melakukan introspeksi dan reformasi dalam sistem kepemimpinannya. Diperlukan proses seleksi dan evaluasi yang lebih transparan dan objektif dalam menentukan siapa yang layak memimpin amal usaha, terutama dalam situasi krisis. Selain itu, budaya organisasi yang menghargai kerja keras, integritas, dan komitmen harus terus dipupuk, sehingga mereka yang benar-benar berkontribusi tidak diabaikan atau disingkirkan secara tidak adil.
Pendidikan dan pembinaan kader juga menjadi kunci penting dalam mencegah terulangnya fenomena ini. Kader-kader muda harus dipersiapkan dengan baik, tidak hanya dari segi kompetensi teknis tetapi juga dalam hal etika dan nilai-nilai kepemimpinan yang benar. Penanaman serta penguatan ideologi harus dikawal sampai tertancap kuat sehingga tidak ada pemicu perpecahan karena setiran dari pihak luar. Dengan begitu, Muhammadiyah dapat memastikan bahwa masa depan amal usaha akan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar peduli dan berkomitmen terhadap visi dan misi organisasi.
Fenomena angkat tangan pengurus dalam masa krisis, yang diikuti dengan perebutan kuasa dan pencarian muka setelah AUM stabil, adalah masalah serius yang perlu segera diatasi. Untuk menjaga keberlanjutan dan integritas amal usaha, Muhammadiyah harus memperkuat sistem kepemimpinannya, menghargai kontribusi yang nyata, dan menanamkan nilai-nilai kepemimpinan yang sehat dan etis. Hanya dengan cara ini, drama AUM dihanguskan supaya lebih fokus dalam memberikan manfaat untuk ummat.
Penulis Zahra Zayyina Hanifah (Mahasiswi Prodi Studi Agama-agama Universitas Muhammadiyah Surabaya)
Editor Septi Sartika (Founder Rumah Jurnal)