PATRIOTPENCERAH – Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, Mahkamah memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).
Ini menjadikan angin segar bagi parpol yang memiliki suara sah namun tereliminasi dengan treshold 20%, karena dengan amar putusan tersebut, cukup dengan perolehan 7,5% suara dalam pileg kemarin, parpol bisa mengusung calon dalam kontestasi pilkada 2024.
Keputusan yang dikeluarkan oleh MK ini tentunya mendapat banyak apresiasi dan respon positif dari berbagai elemen, terlepas dari saya pribadi sebagai Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, karena wujud yang dihasilkan merupakan upaya dalam menjaga marwah demkorasi di Indonesia.
Adapun upaya mufakat jahat yang berusaha untuk menganulir putusan MK tersebut, dirasa adalah suatu hal yang gila dan sangat menciderai konstitusi. Sebab, putusan MK memiliki sifat Final and Binding dengan berasaskan Erga Omnes.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan semua teori hukum tata negara di seluruh dunia pun telah memberikan penjelasan utuh bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat dan langsung berlaku setelah dibacakan. Tidak ada literatur juga yang menyatakan bahwa putusan itu berlaku di pemilu yang akan datang, sehingga hasil putusan ini menjadi instrumen yang terlegitimasi dan tak terbantahkan untuk diterapkan pada pemilu 2024.
Lalu bagaimana dengan dalih Doktrin Purcell Principle yang diperkenalkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Purcell V Gonzalez pada tahun 2006 silam? Yang mana doktrin tersebut menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh mengubah peraturan pemilu terlalu dekat dengan pemilu, karena berisiko menimbulkan kebingungan.
Ihwal ini, seharusnya Mahkamah Konstitusi juga mulai menerapkan prinsip dimaksud sehingga dapat menahan diri untuk tidak mengubah aturan main pemilu menjelang pencalonan maupun pemilihan, terkecuali apabila terdapat kondisi khusus yang dapat menggerus prinsip keadilan itu sendiri.
Terlebih, masyarakat maupun partai politik sudah mulai menemukan celah hukum (loopholes) atau modus dengan mengajukan pengujian undang-undang mendekati/menjelang hari-hari pelaksanaan pemilihan. Dengan penerapan prinsip menahan diri (purcell principle), sudah barang tentu pemilu yang dilaksanakan tidak hanya memberikan keadilan bagi penyelenggara pemilu dan juga pemilih, namun juga memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum sesuai dengan cita hukum dalam sebuah negara demokrasi konstitusional.
Dengan kata lain, demokrasi dan pemilu hendaknya diartikan tidak semata-mata sebagai alat untuk menduduki atau perebutan kekuasaan (struggle of power), tetapi demokrasi
Juga merupakan instrumen guna mewujudkan kebajikan bersama (common virtue) dalam masyarakat beradab yang hendaknya dibentengi dengan perisai keadilan (shield of justice).
Oleh : Didit Aditya Firdaus (Ketua Umum IMM Sumedang)***