PATRIOTPENCERAH – Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, namun kenyataannya berbagai bentuk penjajahan masih melilit bangsa ini. Dahulu, Indonesia dijajah oleh bangsa asing melalui kekerasan dan penindasan. Kini, penjajahan hadir dalam bentuk yang lebih halus dan dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah menyatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pernyataan ini seakan memprediksi kondisi saat ini—ketika kapitalis dan oligarki menguasai berbagai aspek kehidupan, merusak alam, menghancurkan ekonomi rakyat, serta memporak-porandakan politik dan hukum di negeri ini.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Oleh karena itu, seharusnya para wakil rakyat sebelum menjadi wakil, sudah memahami makna ini sehingga ketika diamanatkan tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Tercantum juga dalam UUD 1945 bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Dengan demikian, jika tindakan para wakil tidak sesuai dengan keinginan dan tidak mensejahterakan rakyat, maka sah saja bagi rakyat untuk menurunkan wakilnya sendiri.
Kapitalisme di Indonesia berkembang pesat seiring dengan globalisasi dan reformasi ekonomi yang dimulai pada era Orde Baru. Sistem ini memperkenalkan mekanisme pasar bebas yang memberikan ruang bagi akumulasi kekayaan oleh segelintir elit. Akibatnya, kesenjangan ekonomi semakin melebar. Menurut Karl Marx, kapitalisme adalah sistem yang pada dasarnya mengeksploitasi kelas pekerja (proletariat) demi keuntungan kelas pemilik modal (borjuis). Kondisi ini semakin nyata di Indonesia, di mana kapitalisme telah menciptakan oligarki yang menguasai sumber daya alam dan sektor-sektor strategis lainnya.
Oligarki di Indonesia muncul sebagai kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi, mengendalikan pemerintahan dan kebijakan publik demi kepentingan pribadi dan kelompok. Jeffrey Winters, dalam karyanya Oligarchy, menjelaskan bahwa oligarki adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan terpusat pada segelintir orang yang memiliki kekayaan luar biasa. Dalam konteks Indonesia, oligarki ini tidak hanya menguasai perekonomian, tetapi juga politik dan hukum, menciptakan kondisi yang semakin jauh dari semangat kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan.
Salah satu dampak paling merusak dari kapitalis dan oligarki di Indonesia adalah eksploitasi alam besar-besaran. Dengan dalih pembangunan ekonomi, hutan-hutan dibabat habis untuk kepentingan industri, tambang-tambang dieksploitasi tanpa memikirkan dampak lingkungan, dan laut-laut dirusak oleh pencemaran. Hal ini menimbulkan kerusakan ekologis yang sangat parah dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia.
Ekonomi rakyat juga menjadi korban dari sistem yang tidak adil ini. Sebagian besar petani, nelayan, dan buruh mengalami kesulitan ekonomi yang akut. Soekarno pernah mengingatkan dalam tulisan bukunya Di bawah Bendera Revolusi bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu mandiri secara ekonomi. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sistem kapitalisme dan oligarki yang ada justru memperlemah kemandirian ekonomi rakyat, membuat mereka semakin tergantung pada pasar global yang dikendalikan oleh segelintir orang kaya.
Seperti yang dipaparkan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali dan dominasi segelintir elit atas kekuasaan ekonomi menyebabkan kemerosotan peradaban. Ini menunjukkan bahwa dampak dari kapitalis dan oligarki tidak hanya merusak tatanan sosial-ekonomi tetapi juga membahayakan keberlangsungan peradaban.
Kapitalis dan oligarki tidak hanya merusak ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memporak-porandakan politik dan hukum di Indonesia. Politik uang menjadi praktek yang umum dalam setiap pemilihan umum, di mana para oligark menggunakan kekayaan mereka untuk membeli suara dan mengendalikan hasil pemilu. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan lebih banyak berpihak pada kepentingan kelompok mereka sendiri ketimbang kepentingan rakyat banyak.
Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan, dalam banyak kasus justru menjadi alat penindasan. Penegakan hukum yang tebang pilih dan korupsi yang merajalela menambah penderitaan rakyat kecil, sementara para pelaku kejahatan kelas kakap seringkali lolos dari jerat hukum karena memiliki kekuasaan dan uang. Ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih jauh dari kata adil dan lebih sering digunakan sebagai alat oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Melawan para kapitalis dan oligarki di Indonesia memang bukanlah perkara mudah. Sistem yang sudah mengakar kuat ini membutuhkan perjuangan yang tidak hanya gigih, tetapi juga cerdas dan strategis. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat gerakan rakyat yang berbasis pada solidaritas dan kemandirian ekonomi. Gerakan-gerakan ini harus berani melawan dominasi kapitalis dan oligarki dengan mengusung agenda-agenda keadilan sosial dan ekonomi.
Menurut Antonio Gramsci, perubahan sosial hanya bisa terjadi jika ada kesadaran kelas di kalangan masyarakat bawah.Kesadaran ini penting untuk membangun kekuatan bersama dalam melawan dominasi oligarki dan kapitalisme. Selain itu, penting juga untuk mendorong reformasi di sektor politik dan hukum agar lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat luas.
Selain Gramsci, Sayyid Qutb, seorang pemikir Islam terkemuka, juga menekankan pentingnya melawan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa yang zalim. Dalam bukunya Milestones, beliau menyatakan bahwa umat Islam harus melawan setiap bentuk tirani dan ketidakadilan dengan segala cara yang memungkinkan. Pandangan ini sejalan dengan semangat perlawanan terhadap kapitalis dan oligarki yang menindas rakyat kecil.
Refleksi kemerdekaan Indonesia yang ke-79 ini sudah seyogyanya menjadi momentum bagi kita semua untuk merenungkan kembali makna dari kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan asing, tetapi juga bebas dari segala bentuk penindasan, termasuk oleh bangsa sendiri. Kapitalisme dan oligarki adalah bentuk penjajahan baru yang harus dilawan dengan kesadaran, solidaritas, dan perjuangan bersama. Widji Thukul pernah mengatakan, “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang,” dan penulis menambahkan, “apabila rakyat senantiasa ditindas oleh wakilnya sendiri, jawabannya hanya satu—Lawan!” Soe Hok Gie juga pernah berkata, “Aku lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan!” Harapan tetap senantiasa ada, hiduplah Indonesia Raya! Tak hanya sekadar hidup tetapi menjalankan atas apa yang telah dicita-citakan bersama, yakni “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”.***