PATRIOTPENCERAH – Dalam aspek kehidupan serta didalam lingkup peradaban sangat butuh sosok yang dinamakan seorang pemimpin, yang mempunyai kompetensi, kemampuan, keterampilan, berkarakter, berintegritas dan berkualitas. Karakteristik seperti yang dijelaskan tersebut perlu dimiliki oleh pemimpin agar dapat memberi arah dan pengaruh yang positif kepada kemaslahatan umat manusia. Para pemimpin adalah para elite yang berada di pucuk piramida kekuasaan dalam bidangnya masing-masing, terkadang hadirnya pemimpin berpadu dengan mitos-mitos dan legenda yang melatarinya, semakin kharismatis dan punya privilege pemimpin, semakin tinggi kadar mitosnya. Beda halnya dengan pemimpin dalam sudut pandang rasional, justru karena pemimpin adalah makhluk non-mitologis, maka berlakulah prinsip no one perfect. Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga para pemimpin. Ada kalkulasi tersendiri dalam menilai sepak terjang seorang pemimpin.
Di indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya namun, dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998 sampai saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi. Artinya, kebebasan berekspresi Sudah menempati ruang yang aman dan dilindungi payung hukum, sehingga setiap orang berhak menyampaikan pendapat kepada pemimpin. Beda halnya jika ditarik ke dalam latar belakang historis bangsa ini misalnya, dalam masyarakat feodal Jawa, kritik atau protes itu dilakukan dengan berjemur di alun-alun, dengan harapan Raja sebagai pemimpin akan peka terhadap aspirasi mereka, walaupun hasilnya belum tentu efektif, karena kemungkinan besar Raja tidak menghiraukannya, atau misalnya dalam masyarakat feodal Sunda, yang hanya menempatkan seni kedalam unsur egaliter dalam kehidupan bermasyarakat, seperti contohnya tari Gembyung yang merupakan tarian tradisional Sumedang, yang dimana kesetaraan anatara penari dan siapapun penonton yang hadir pada saat itu berada di tempat pijakan atau panggung yang sama. Yang artinya karakter Raja sebagai pemimpin pada saat itu adalah otoriter selain daripada yang berhubungan dengan kesenian. Tidak heran bilamana masih banyak pemimpin dari bangsa ini yang masih mempertahankan sikap otoriter karena, faktor culture historical pada peradaban masa lampau yang di bawa kedalam watak kepemimpinan masa kini, biasanya hal itu terjadi karena pemimpin tersebut masuk punya pemikiran yang tua (bukan usianya). Panggilan yang tepat dari penulis kepada pemimpin yang masih seperti demikian di zaman ini adalah “manusia kaku”. Dalam tahapan tertentu, pemimpin itu adalah seorang pemimpi. Pemimpin harus punya mimpi dan obsesi atau visi misi, bahkan ambisi, pemimpin besar pasti punya mimpi besar. Untuk mewujudkan mimpi besar itulah para pemimpin diuji, dihadapkan pada realita menantang. Pemimpin demokratis akan berupaya mewujudkan mimpi dan obsesinya secara demokratis. Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan pemimpin otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri dan menganggap dialah bersama elitenya yang paling mampu tanpa menghiraukan suara rakyatnya. Tetapi, yang jelas, apakah gaya atau jalan yang ditempuh pemimpin itu demokratis atau otoriter (manusia kaku), pemimpin adalah elite utama yang bekesempatan merubah keadaan, membelokkan jalan sejarah.
Kondisi perpolitikan khususnya pasca 1998, yakni tatkala orde baru telah digantikan oleh era reformasi, sungguh terasa hingar-bingar di kalangan revolusioner seperti kaum muda. Jarum jam sejarah seolah berputar kembali ke era 1950-an, dimana Indonesia berada dalam fase Demokrasi liberal yang sama-sama banyak partanya. Hanya, kalau pada era demokrasi liberal pemerintahan bersistem parlementer, saat ini pemerintah bersistem presidensial. Tapi, praktik demokrasi politik kita ini, dalam banyak hal masih menunjukan cara-cara parlementer akibat dari masih banyak “manusia kaku” didalam tubuh kepemimpinan bangsa ini. Menjelang pemilu, baik legislatif, pilkada sampai pemilihan di tingkat Desa, masyarakat dihadapkan dengan berbagai atraksi para elite politik. Politisi kadang tidak mempersoalkan kompetensi atau kepatutan, praktik politik kini kerap susah dipahami dalam kerangka budaya Timur, walaupun tidak demikian halnya dengan budaya demokrasi. Dalam budaya Timur, calon pemimpin cenderung dikesankan tampil pasif, menunggu didesak dicalonkan, lalu secara teatrikal mengatakan dengan berat hati menerimanya sebagai amanah dan panggilan. Baru kemudian seolah-olah cari dukungan, namun budaya demokrasi menerobos hal itu, meneriakan ambisi menjadi calon tidak dianggap tabu. Kekuasaan hanyalah sarana tujuan (intermediate goal) belaka, bukan tujuan pokok (ultimate goal) pemimpin yang memandang kekuasaan adalah tujuan pokok yaitulah para “manusia kaku”
“A good movement has no ending, even if only in writing” (Ridwan Marwansyah)
Referensi :
Alfian, A, M. (2009). Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Brata, R, Y., Wijayanti, Y. (2020). Dinamika Budaya Dan Sosial Dalam Peradaban Masyarakat Sunda Dilihat Dari Perspektif Sejarah. Ciamis: Jurnal Artefak.
Leuwol, V, N., Gaspersz, S., Tupamahu, S, M., Wonmaly, W. (2023). Karakteristik Kepemimpinan Ideal di Era Generasi Milenial. Papua Barat: Jurnal on Education.
Oleh: Ridwan Marwansyah, S.Hum
(Aktivis Muhammadiyah Jawa Barat)***