Pada akhir tahun 2024, publik dikejutkan oleh gugatan Keraton Yogyakarta terhadap PT KAI terkait lahan seluas 297.192 meter persegi di sekitar Stasiun Tugu. Lahan tersebut adalah Sultan Ground—warisan historis Keraton Yogyakarta—yang diklaim sepihak oleh negara melalui BUMN.
Di mata hukum, sengketa ini mungkin tampak seperti perkara administrasi aset. Namun, bagi rakyat Yogyakarta, ini bukan sekadar persoalan legalitas—melainkan persoalan martabat dan sejarah. Negara hadir dengan sertifikat, tetapi lupa bahwa tanah itu sudah memiliki jiwa jauh sebelum republik ini lahir.
Negara Harus Mendengar Sejarah
Lompat ke Juni 2025, Pemerintah Pusat resmi menetapkan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—sebagai bagian dari wilayah Aceh, menyudahi konflik batas wilayah dengan Sumatera Utara. Keputusan itu diambil melalui forum tertinggi negara yang melibatkan Menteri Dalam Negeri, Menseskab, dan Wakil Ketua DPR RI.
Penetapan ini menunjukkan bahwa batas wilayah bukan hanya soal titik koordinat, tetapi juga identitas dan pengakuan sejarah lokal. Aceh diberi ruang untuk bicara sebagai subjek sejarah, bukan sekadar objek administratif.
Jangan Ubah Hukum Jadi Alat Dominasi
Dua peristiwa tersebut berbeda dalam konteks, tetapi mengandung pesan yang sama: negara sedang diuji, apakah ia benar-benar hadir untuk rakyat atau hanya tunduk pada prosedur hukum tanpa nurani.
Dalam konsep good governance, instrumen hukum saja tidak cukup. Negara membutuhkan legitimasi sosial—yang dibentuk dari adat, budaya, dan ingatan kolektif. Tanpa itu, hukum hanya menjadi alat dominasi, bukan keadilan.
Jejak Pemikiran Para Tokoh Bangsa
“Negara yang kuat adalah negara yang menghormati rakyat dan akar budayanya.”
— Muhammad Natsir, Capita Selecta 2, 1957.
“Agama tanpa kebangsaan itu pincang, dan kebangsaan tanpa agama itu buta.”
— Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1966.
“Bangunlah satu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan.”
— Soekarno, 1961.
“Stabilitas nasional bukan hanya keamanan, tapi juga rasa keadilan di tengah masyarakat.”
— H.M. Soeharto, Pidato Kenegaraan, 1968.
Republik Bukan Sekadar Akta Tanah
Tanah air adalah bagian dari iman. Ketika negara mengelola tanah tanpa memahami jiwanya, maka itu adalah bentuk buta struktural. Jika republik hanya dibangun di atas akta dan perjanjian formal tanpa kepercayaan rakyat, maka kejatuhannya bukan karena invasi asing—melainkan karena hilangnya legitimasi dari dalam.
Ketika rakyat kehilangan tanah, lalu negara datang membawa dalih pembangunan, sesungguhnya kita sedang mengorbankan akar demi menanam beton. Bila terus dibiarkan, jangan salahkan generasi mendatang bila mereka tak lagi merasa memiliki republik ini.***
Oleh: Rangga Arief Kurniawan, S.Sos.
Pemuda Muhammadiyah | Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Universitas Islam 45 Bekasi
Catatan Kaki:
1. Natsir, Mohammad. Capita Selecta 2. Jakarta: Bulan Bintang, 1957.
2. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1966.
3. Soekarno. To Build the World Anew: Selected Writings. Jakarta: Panitia Penerbitan, 1961.
4. Soeharto, H. M. Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Depan DPR-GR. Jakarta: Sekretariat Negara, 1968.